RKBMN
( RENCANA KEBUTUHAN BARANG MILIK NEGARA )
( RENCANA KEBUTUHAN BARANG MILIK NEGARA )
APA ITU RKBMN .....?
Terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membawa paradigma baru tentang pengelolaan keuangan negara, salah satunya yaitu untuk mewujudkan good governance dan fiscal sustainability melalui pengelolaan aset publik. Sejalan dengan meningkatnya kualitas penyajian nilai BMN dalam neraca LKPP, disusun roadmap Strategi Pengelolaan BMN yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara (PP 28 Tahun 2020) dimana arah pengelolaan BMN mulai bergeser dari yang semula bersifat administratif (penatausahaan BMN) menjadi manajerial (pengelolaan BMN).
Proses pengelolaan BMN sendiri terdiri dari suatu siklus pengelolaan aset mulai dari perencanaan, penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan hingga penghapusan BMN. Berdasarkan PP 28 Tahun 2020 dan dalam rangka meningkatkan efisiensi belanja pemerintah dari segi pengadaan BMN, dirumuskanlah kebijakan teknis terkait integrasi perencanaan dan penganggaran dengan mempertimbangkan konsep best practice dalam pengelolaan aset publik melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.06/2021 tentang Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara.
Rencana Kebutuhan Barang Miik Negara (RKBMN) digunakan sebagai dasar pengusulan bagi K/L dalam penyediaan anggaran angka dasar (baseline) dan inisiatif baru (new initiative) pada Rencana Kerja Anggaran K/L (RKA-K/L), serta digunakan sebagai bahan penilaian prioritas ketersediaan anggaran sesuai ketentuan yang berlaku. Perencanaan merupakan hal yang sangat penting dalam perumusan kebijakan anggaran, khususnya dalam meningkatkan kualitas belanja pemerintah dari perspektif efektivitas dan efisiensi sehingga dapat berdampak pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih sehat. Namun demikian, adanya realokasi belanja karena adanya perubahan prioritas belanja modal pada kementerian/lembaga (K/L) menimbulkan tantangan terhadap pengelolaan aset publik atau disebut sebagai Barang Milik Negara (BMN).
RKBMN menerapkan prinsip highest and best use of asset dalam merencanakan pengadaan belanja modal sehingga pengeluaran pemerintah dapat direncanakan secara efektif, efisien dan optimal, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, mengurangi ketidakefektifan anggaran dan meningkatkan fungsi BMN. Namun demikian, dalam prakteknya saat ini masih terdapat ketidaksinkronan kebijakan antara RKBMN dan RKA-K/L yang menyebabkan belanja pengadaan dan pemeliharaan belum tepat sasaran. Selain itu adanya indikasi ketidaksinkronan antara standar kebutuhan BMN yang diajukan melalui RKBMN dan standar biaya yang diajukan melalui RKA-K/L menyebabkan realisasi anggaran tidak sesuai dengan yang direncanakan, hal ini diduga karena perkiraan kebutuhan anggaran sering hanya didasarkan pada angka tahun sebelumnya, dimodifikasi dengan perubahan jumlah asset dan perkiraan inflasi, tanpa perencanaan dan kontrol yang memadai. Mekanisme perencanaan kebutuhan BMN untuk pengadaan diawali dengan penyusunan rencana kebutuhan belanja modal K/L yang berpedoman pada Standar Barang dan Standar Kebutuhan (SBSK), Rencana Strategis (Renstra), serta mempertimbangkan optimalisasi existing BMN. Melalui praktek highest and best use of asset, K/L menentukan rencana pengelolaan BMN selanjutnya, apakah akan dilakukan penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan atau penghapusan.
Dilihat dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM), kualitas SDM pada level satker di K/L yang menangani perencanaan dan penganggaran cenderung tidak merata sehingga dapat terjadi kesulitan menggunakan/operasionalisasi sistem aplikasi. Padahal, penggunaan aplikasi maupun sistem informasi yang efektif dapat meningkatkan keandalan database perencanaan dan penganggaran serta sebagai pengendalian risiko dalam meningkatkan kepatuhan K/L, peningkatan sinergi antara aktor perencanaan dan penganggaran, dan validasi dokumen perencanaan dan penganggaran. Oleh karena itu perlu adanya jabatan fungsional serta sistem monitoring dan evaluasi dari level atas dalam validasi usulan dokumen RKBMN dan RKA-K/L sehingga dapat meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran itu sendiri.
Meskipun monitoring dan koordinasi telah sering dilakukan melalui penyusunan kebijakan bersama, forum penelaahan, maupun bimbingan teknis/pendampingan/asistensi, namun pada kenyataannya moral hazard terjadi di internal K/L karena dokumen perencanaan kebutuhan tidak digunakan dalam proses penganggaran yang seharusnya. Hal ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi regulator untuk memberikan insentif berupa reward bagi K/L yang melaksanakan kebijakan dan punishment bagi K/L yang tidak melaksanakan kebijakan perencanaan sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
Harapan ke depannya, siklus pengelolaan BMN dapat lebih terstruktur berkat adanya sistem informasi dan ditopang dengan SDM yang mumpuni sehingga dapat memberikan informasi yang jelas dan handal bagi pengguna informasi serta feedback yang presisi bagi penentu kebijakan di kantor pusat K/L.